Thursday, March 19, 2009

Rastiawaty Gunawan

Thursday, March 19, 2009 3:38 AM

perkenalkan nama saya Rasti di Makassar.............awalnya saya mengenal nama Pak Prass melalui radio Smart FM tentang "menyumbang tidak usah menunggu ikhlas". saya sangat senang mendengar nasehat ini...dan ternyata nasehat ini dikutip dari buku Pak Prass.....

singkat cerita, untuk menjawab rasa penasaran saya akhirnya saya membeli & membaca buku Pak Prass........LUAR BIASA !!!!

jujur saya gak tau memilih kalimat yang tepat untuk menyampaikan kekaguman saya pada Pak Prass karena buku bapak sangat inspiratif dan memprovakasi diri saya untuk berpikir & bertindak lebih terarah.
saya sangat senang setelah membaca buku ini karena saya bersemangat lagi untuk lebih giat belajar & berkarya....karena seperti kata Pak Prass "bukannya saya tidak bisa melainkan saya tidak mau bisa"

saya sangat senang & demikian tersanjung jika Pak Prass berkenan membaca email saya ini.

wassalam,
Rastiawaty

Tuesday, March 10, 2009

www.andaluarbiasa.com

Sulut Pikiran dan Pecahkan Kotak Belenggu

Oleh: Rina Suci Handayani*

bkprovokasiDATA BUKU

Judul: Provokasi

Oleh: Prasetya M. Brata

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2008

ISBN: 978-979-22-3720-7

Tebal: xxxvi + 246 hal

Ukuran: 13 x 20 cm

Tidak banyak orang yang mau merasa beruntung. Bagi segelintir orang, keberuntungan adalah barang langka ibarat jarum dalam tumpukan jerami. Namun bagi Prasetya M. Brata, penulis buku Provokasi, keberuntungan adalah masalah menyiasati pikiran. Tidak ada kata nasib buruk’ dan nasib baik’ dalam kamus hidupnya. Siapa pun bisa beruntung asalkan mau beruntung. Bersiaplah membuka cakrawala dan hati Anda menuju keberuntungan bersama Provokasi.

Judul yang menantang, itu yang tersirat dari buku Provokasi yang ditulis oleh Prasetya M. Brata. Dikemas dengan cover hitam elegan, buku yang sudah dicetak untuk kali kedua pada 10 Agustus 2008 ini mendapatkan sambutan positif dari pencinta buku jenis mind opener atau motivasi. Tidak sedikit yang kecele dengan judulnya yang terkesan politis. Tetapi, buku ini memang pantas dibaca oleh para politisi kita, supaya mereka lebih tersulut memberikan yang terbaik untuk negaranya.

Isinya ringan disajikan dalam bahasa yang popular, sederhana, menyulut, dan berani. Pengalaman keseharian dan aktivitas penulis tampak jelas menjadi inspirasi utama Provokasi. Bergelut dengan manusia dan sisi kemanusiaannya membuat Prasetya mampu menyajikan kasus-kasus humanis, yang kerap disepelekan dalam keseharian, menjadi sajian yang menyentuh, bersemangat, provokatif, dan menggelitik.

Gundah

Akal dan hati berada dalam satu badan namun belum tentu satu suara. Apakah rasa gundah itu lebih dulu muncul dari dalam hati lalu menuju akal untuk mencari solusinya? Atau sebaliknya? Akal menganalisis tetapi bila tidak sesuai dengan hati maka muncullah rasa gundah itu. Jawabnya sama saja ketika Anda disodori pertanyaan mana yang lebih dulu ada, ayam atau telur. Kegundahan pulalah yang menjadi titik balik Prasetya membuat sebuah blog di halaman elektronik. Inilah cikal bakal Prasetya pada akhirnya merilis sebuah buku yang diberi genre berbeda dari beberapa pembacanya.

Penerbitnya sendiri menggolongkan Provokasi termasuk kategori buku motivasi. Saat peluncuran buku ini tanggal 16 Mei 2008 yang lalu, terpampang dengan jelas di backdrop panggung diskusi bahwa buku ini dikategorikan sebagai buku mind opener. Seorang pembaca lain yang berprofesi sebagai jurnalis harian ekonomi di Jakarta lebih suka mengatakan buku ini adalah buku bergenre pengembangan diri atau self improvement.

Terlepas dari pilihan genre Provokasi, toh kentara betul gaya bahasanya memang menyulut alias provokatif. Dan, pada dasarnya jenis buku ini jamak beredar di pasar buku. Jadi, kalau dilihat dari genre buku Provokasi adalah buku yang tidak istimewa, kecuali Anda pro genre buku jenis ini, tentu bisa saja berkata lain.

Kondisi keseharian di Jakarta mendesak Prasetya untuk menuangkan kegundahannya akan perbedaan atas fakta kehidupan dan keyakinan, nilai, dan program yang ada di kepala penulis yang diakuinya berasal dari orang tua, guru, penataran P4, pramuka, dan lain-lain. Prasetya ramah dalam berkisah, alhasil puzzle kehidupan penulis tersaji dengan renyah dan mudah dicerna. Kisah-kisahnya yang secara jujur menguak pribadi penulis tidak sungkan dituliskannya. Ketika penulis menilai orang lain berdasarkan tafsirnya sendiri, yang mengarah menjadi prasangka dan mencoba mengatasinya agar prasangka tidak menjerumuskannya dalam pikiran negatif.

Suatu saat di sebuah perjalanan santai di Yogyakarta, penulis yang akrab disapa Prass ini terduduk di depan sepasang manusia yang berbeda ras. Seorang perempuan kulit putih dan lelaki lokal alias pribumi. Apa yang dilihatnya dari akivitas kedua insan itu diolahnya hanya berbekal pengalaman dan pengetahuan masa lalu Prass. Inilah yang dia katakan nyaris menjerumuskannya dalam prasangka yang memang jelas-jelas dilarang oleh Tuhan. Prass mengakui, bahwa ia hanya mengira-ngira tentang sepasang manusia itu. Padahal, perkiraannya itu belum tentu sesuai dengan kenyataannya. Kalau hal ini terjadi bisa timbul dampak yang menyebabkan ’korban’ Prass ini mungkin saja teraniaya karena hasil mengira-ngira itu.

Itulah yang Tuhan hindarkan dari sebagian prasangka, men-dzholimi orang lain yang bisa berakibat orang tersebut terfitnah, padahal belum tentu perkiraan Anda itu benar. Hati-hati, apa yang Anda lihat belum tentu sesuai dengan kenyataan. Penting untuk cek dan cek ulang sebelum menbuat pernyataan dalam benak Anda, begitu yang ingin Prass sampaikan lewat kisah Prasangka. Apa yang dituliskannya sangat mencerminkan karakter pria yang kesehariannya sibuk memberi training seputar pengembangan sumber daya manusia ini.

Berani Sekaligus Menyentuh

Siapa yang tidak bangun ketika disiram seember air sangat dingin? Kalau tidak bangun namanya terlalu. Ini penulis lakukan di kisah yang diberinya judul Hormatilah Orang yang Tidak Berpuasa. Provokasi ini mengundang pro dan kontra, yang pasti ibarat air dingin yang disiramkan kepada orang yang tertidur lelap. Responnya, ada yang bangun kemudian sadar, tetapi ada juga yang menganggapnya sebagai gangguan di saat kondisi nyaman, maka timbullah kemarahan.

Menyentuh karena manusia hanya memberikan apa yang dia miliki. Kehormatan adalah hal yang harus dimiliki diri sendiri sebelum menghormati orang lain. Prasetya memecah comfort zone pembaca dengan sudut pandang yang keluar dari kotak, pakem, atau norma yang selama ini telanjur mengakar.

Apakah Anda bisa menebak? Ya, tidak sedikit kontra untuk tulisannya yang satu ini. Tetapi Prass tidak kapok menulis hal yang dianggap tidak lazim ini. Hormatilah Orang yang Tidak Berpuasa (2), dituliskannya untuk menjawab komentar yang masuk. Pertanggungjawaban Prass untuk tulisan yang satu ini memang membutuhkan keberanian, pasalnya ini adalah area publik yang cenderung dinilai sensitif. Apalagi di tengah komunitas muslim yang mendominasi, namun mengapa Prass justru terlihat membela yang minoritas ketimbang yang mayoritas? Prass punya argumen sendiri dalam bahasa yang lagi-lagi menyulut. Sungguh berani.

Pecinta Angklung

Lima tahun saya bersahabat dengan Angklung, alat musik tradisional khas Jawa Barat. Berkat jadi pemain angklung saya sudah mentas di Istana Negara, menghibur tamu negara saat Megawati menjabat sebagai presiden. Saya juga pecinta budaya Indonesia, termasuk reog yang pernah demo di depan kedutaan Malaysia sekitar bulan Februari 2008. Saat angkutan umum yang saya tumpangi melintas melewati pendemo tersebut, saya tersenyum bahagia mendukung para penari reog untuk bisa mendemo Malaysia sampai mereka kecut. Emosi negatif saya terpancing keluar berupa energi negatif berbentuk rasa kesal.

Persamaan angklung dan reog? Sama-sama diklaim oleh Malaysia. Sempat mendidih juga darah nasionalisme saya. Sampai akhirnya saya sampai di halaman 108 buku Provokasi dengan judul yang lagi-lagi berani, Malingsia. Hmm, perlahan-lahan darah saya mendingin kembali. Tidak saya sangka ternyata penulis mengapresiasi kasus ini, saya sebagai pecinta angklung jadi lebih terbuka. Ini memang masalah bersama, aset yang harus dipertahankan tapi apa masalahnya? Penulis mengembalikan kepada tafsir pembaca yang sedikit diwarnai teori isi teko ala Aa Gym. Saya kembali bertanya kepada diri sendiri, jadi apa masalahnya?

Miskin Selamanya

Ketika saya masih di bangku SD kelas enam di tahun 1989, saya masih ingat guru saya bilang negara kita adalah negara berkembang. Begitu pula ketika saya SMP, SMA, sampai perguruan tinggi. Indonesia adalah negara berkembang. Lha, kapan mekarnya, ya? Malah katanya sekarang jadi layu? Apa yang bikin layu? Apa karena kelamaan berkembangnya? Menurut saya, mungkin karena kita masih ‘miskin’.

Sangat menarik ketika saya membaca tulisan Prasetya, “Insya Allah Anda miskin terus.” Penulis yang selama 39 tahun hidupnya berada di dunia logika ini tidak segan-segan menuliskan sebuah pernyataan yang dihindari kebanyakan orang dan pemerintah: miskin. Mana ada negara yang mau jadi negara miskin.

Jika saya telaah lagi, pada dasarnya diri saya sendirilah yang membuat saya merasa miskin. Di tulisan ini Prasetya menyajikan sebuah menu andalan yang saya namakan Yakin’. Ketika saya yakin bahwa saya miskin, ya itulah saya. Ketika saya yakin saya tidak layak, ya itulah saya. Dan, yakin bukan hanya milik hati seorang manusia saja, tetapi juga milik sebuah bangsa karena bangsa terdiri dari berjuta-juta hati manusia. Kalau melihat sekeliling dalam keseharian, saya jadi sedikit mengerti mengenai kenapa Indonesiaku ini sulit termotivasi dan masih ‘miskin’.

Mind Set is Matter

Tidak ada gading yang tak retak. Prass berpendapat bahwa keberuntungan yang selalu dinikmatinya bisa datang dalam bentuk apa pun. Kritik tajam maupun pujian bagi Provokasi adalah keberuntungan yang baginya diibaratkan mutiara. Mutiara memang keras namun indah dan diperebutkan. Intan juga keras namun mahal harganya. Berbagai tulisan di Provokasi pada intinya menyulut pembaca bahwa semua bisa mudah dan menjadi beruntung asalkan kita mau. Siasati pikiran karena itulah titik awal keberuntungan yang didambakan setiap insan.

Tidak perlu berpikir berdarah bila bisa berpikir mudah. Bila berpikir bahwa menerbitkan sebuah buku itu harus berdarah-darah, maka itulah yang terjadi. Tetapi sebaliknya, jika berpikir bahwa menerbitkan buku itu mudah maka itulah yang terjadi,” katanya suatu saat dalam sebuah diskusi. Pernyataannya memang sudah dibuktikan, Prasetya sama sekali tidak memiliki rekam jejak sebagai penulis, tetapi impian berjuta penulis untuk menerbitkan sebuah buku telah lebih dulu dicapainya. Jadi, apa yang salah bila belajar dari apa yang sudah dijalankannya, meyiasati pikiran meraih keberuntungan?

Nasib Anda hari ini Andalah yang menentukan karena memang manusialah yang menentukan nasibnya. Bukan orang lain. Tuhan saja sudah mendelegasikan tugas menentukan nasib kepada manusia. Nasib tergantung dari mind set dan usaha. Yup, mind set is matter and mind opener is important. Provokasi cuma setitik dari lautan buku motivasi, mind opener, atau self improvement atau apa pun itu yang membanjiri dunia literatur.

Provokasi yang pasti tidak sepopular The Secret karya Rhonda Bryne, namun saya sangat terprovokasi mengubah mind set ketika tiba di kisah: Pulang. Saya jadi iri dengan yang sudah berpulang dan benar-benar menanti pulang. Keluar dari kotak berpikir bahwa pulang yang selama ini ditanamkan tabu untuk dibicarakan bahkan dipikirkan menjadi wajib hukumnya untuk saya bicarakan dan pikirkan setiap detik. Siapa yang tidak bahagia ketika pulang? Kalau tidak bahagia namanya terlalu.[rsc]

* Rina Suci Handayani adalah seorang wartawan, tinggal di Taman Wijaya Permai, Taktakan, Serang, Banten. Ia dapat dihubungi melalui nomor telepon 081321190873 atau pos-el: bright_solemio@yahoo.com.