Wednesday, October 8, 2008

Rina Suci Handayani

My comment to Kronik Pasar

Mbak Ana sudah jelas mumpuni dalam menulis. Kalimat dan diksinya memang menyegarkan mata dan hati rina sbagai pembaca. Dia dua mengomentari penulis yang nota bene adalah sahabatnya.. tapi dengan suksesnya memberikan komentar yang berani padahal mungkin kalau secara manusia dan dilihat dari sisi pertemanan pada umumnya kita ingin muji temen kita sendiri..

Tapi teman yang baik justru yang ga gadang-gadang kita terlalu tinggi.. Kalau ga salah inget Rina tulis resensi di majalah HC kalau sebenarnya Provokasi itu buku yang jamak beredar di pasaran dan ga terlalu istimewa. Bedanya, mbak Ana sukses mengeksplorasi lebih dalam ketidak istimewaan Provokasi itu. Kalau rina cuma nangkep sedikit aja... Itu memang objektif Pakde.. Tapi ada hal yang bikin provokasi jadi istimewa karena ketidak istimewaannya itu.. Untuk hal ini rina masih pake naluri sebagai orang jurnalistik belum bisa diargumentasikan lewat logika.. Maaf ya..

Resensi mbak ana bagus tapi sayang ga seimbang karena menurutku resensi itu harus seimbang antara positif dan negatifnya. Borok Provokasi versi mbak Ana dikeluarin semua tapi bagian mulusnya ga kesentuh. Sedangkan Lanang jadi gadang karena sudah berhasil dibabat sama kalangan sastrawan. Rina melihat bahwa buku yang bagus versi mbak Ana mementingkan proses pembantaian secara sastrawi. Lanang Sudah melewati proses pembantaian maka Lanang digadang oleh mbak Ana (tersirat mbak Ana membanggakan Lanang). Padahal proses dibantai itu bukan segalanya!! Mungkin ada yang kelewat sama mbak Ana bahwa sastra Provokasi itu berbeda dengan Lanang kalaupun harus dibabat bukan orang sastra yang mbak Ana tunjuk di Lanang itu, tapi orang yang ngerasain aplikasi dari nilai-nilai di provokasi.. Keadilan itu kan harus pada porsinya. Kalau Provokasi dibabat sama orang sastra ya tidak adil begitu juga Lanang kalo dibabat sama para motivator ya tidak adil... Membabat butuh keadilan supaya hasil babatannya rapih dan masih bisa berkembang, bukan dibabat habis jadi mati. Itu namanya TERLALU (versi Rhoma Irama-red)....

Jadi dari tulisan Kronik Pasar itu terlihat jelas mbak Ana pro ke mas Yo.. Ini juga ga begitu bagus secara sisi objektifitas. Faktanya, karya sastra itu cuma dibaca sebagian orang karena banyak sastrawan yang tidak pandai mencerdaskan pembaca lewat karyanya.

Yang sastrawi tapi mudah dicerna dan bisa menambah wawasan itu sedikit, Pramudya salah satunya.. Yang lain.. ga melihat kenyataan bahwa pembaca Indonesia itu masih banyak yang buta sastra... Salahnya, karya sastra ga diberi penjelasan tentang maksud harafiahnya.. Imbasnya orang jadi males baca! Padahal kalo penulisnya cerdas dia harus bisa kaya Pramudya.. Beri tahu pembaca makna sederhana dari sastra yang diusungnya. Kan ga semua makan bangku sekolahan, Pramudya sadar betul itu makanya membumi. Jadinya Orang ga capek n males baca bukunya..

Rina bilang orang cerdas itu yang bahasanya mudah dipahami oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun.. Asal eling aja mayoritas penduduk Indonesia itu siapa?? Intelek itukan ga dilihat dari kosakata serapan yang banyak dipake sama orang tersebut. Jujur ya, Rina ketemu sama orang Indonesia yang ngomongnya campur2 Indonesia plus barat itu ga terlalu respek, buat rina biar orang luar yang belajar bahasa kita kalau dia ada di sini... Kalau kita keluar baru kita tunjukkin kalau kita juga bisa. Apalagi kalo dah ngomong campur2 tapi sebenernya ga tau artinya..

Para pembabat sastra yang mengatas namakan juri karya sastra itu kan hidup di komunitasnya sendiri seringkali mereka ga adil menilai sastra sebuah buku karena mereka ga berasosiasi dengan tanah mereka berpijak.. Sastranya bagus menurut otak mereka, belum tentu menurut orang lain. Aku ga jadiin mereka patokan untuk sebuah karya yang bagus kok. Itu relatif.. Setiap manusia punya ketertarikan sendiri.

Tapi bagaimanapun juga pro kontra itu penting banget.. Toh aku juga ga yang selalu muji Provokasi kan.. Tapi satu hal, mbak Ana itu tulus sama pakde.. Buktinya dia mengalokasikan waktunya hanya untuk menganalisa/memeriksa borok Provokasi.. Kalau secara logika siapa sih yang mau meriksa borok orang? Meriksa dan membeberkan adalah dua hal yang berbeda kan pakde?? Menurutku meriksa itu rela menyatu dengan objeknya entah itu dia suka atau tidak. Kalau suka syukur, kalau ga kan butuh keikhlasan (di sini letak tulusnya-red). Kalau membeberkan itu prosesnya liat dari jauh kulitnya kelihatan menjijikan trus dikomentari pake sudut pandangnya sendiri kalo itu busuk, bau, dan sumber penyakit. Padahal ga punya bukti otentik..

Menulis sajalah pakde, ikutin kata hati... Sastra bukan segalanya, kalau pakde bukan penulis sastra ya ngapain juga maksain nulis sastra. Kalau pakde merasa harus ikut pembantaian para juri sastra, biarlah kami ini pembaca Provokasi yang membantai tidak usah melihat rekam jejak sastrawi kami.. Orang kayak pak Yos dan pakde harus tetap berkarya untuk keseimbangan hidup kan...

Akhirnya, ya selamat menulis dan menjadi diri sendiri.. Respon setiap babatan seperti biasanya pakde merespon babatan dari siapapun... Iya ga sih??

Segitu aja deh komentar yang panjang lebar ini..
Satu hal, yang menurut pakde ga berarti bisa berarti besar buat orang lain... Pakde tanya pendapatku, itu berarti banget buat rina. Sama halnya berartinya Provokasi buat seorang anak manusia di Banten sono namanya Dian, lulusan SMP yang jadi pengasuh keponakanku... Dia ga ngerti istilah Neurolinguistik ato apalah tapi dia babat habis buku pakde, dia baca dan dia semangat. Oke kan??

Jadi, selamat menulis dan ditulisi, hehehe....

PS: Idealisme penulis pada akhirnya harus berkolaborasi dengan kepentingan pasar.. Itu fakta karena kalau ga begitu penulis ga bisa dapat penghasilan.. Padahal kita semua butuh itu untuk bertahan hidup kan.. Tinggal pinter-pinternya penulis membahasakannya

-nong-

No comments: